Jumat, 22 Juli 2011

"Blood Ink Pen" (Part 5)

Beberapa hari kemudian. Sekitar beberapa hari setelah ulang tahunku yang ke 16, akupun sadarkan diri di rumah sakit dengan perban di kepala dan infuse di tangan kananku. Di ruanganku sudah ada ayah-ibu serta adikku Abi yang menunggu aku terbangun dari koma.

“Ayah, ibu, dia sudah sadar!” Seru adikku Abi.

“Akhirnya kamu sadar juga nak.” Kata ibuku sambil menangis.

“Ayah ibu, kalian sudah pulang?. Dimana aku? Apa yang terjadi? Aduh! kepalaku”. Kataku.

“Kau dirumah sakit nak, sudah jangan banyak berpikir dulu. Lebih baik kau istarahat saja.” Kata Ayahku.

Sesaat aku benar-benar bingung. Tapi, kemudian aku teringat semuanya. Dan semua ingatanku yang dulu telah kembali. Benturan di tangga itu membuatku sembuh dari amnesiaku.

Setelah mengingat semuanya akhirnya aku tahu semua teka-teka yang aku pertanyakan selama ini.



Ternyata dulu akulah pengguna pulpen yang sebelumnya, saat itu aku masih kelas 3 SMP. Dulu ayahku adalah orang yang sangat keras dan otoriter. Ia begitu memaksakan kehendaknya terhadap anak-anaknya. Sedari kecil kami selalu dipaksa dan ditekan agar terus berprestasi di sekolah. Memang adikku sangat pintar, sedangkan aku hanya seorang siswa yang biasa-biasa saja di sekolah—tidak begitu pintar. maka dari itu ayahku selalu membeda-bedakan aku dengan adikku Abi. Ia selalu lebih perhatian dan lebih mementingkan Abi daripada aku.

Aku sangat merasa dikucilkan dan tidak ada lagi yang peduli padaku. Sampai suatu hari, ada seorang pria misterius menemuiku pada saat aku berjalan sendiri dari suatu tempat. Lalu ia memberikan aku sebuah benda yang katanya akan membuat hidupku jauh lebih baik dari sebelumnya, “Pulpen Tinta Darah”.

Tentu saja, awalnya aku tidak langsung percaya begitu saja. Tapi, suatu hari aku iseng mencoba menggunakan pulpen itu dalam sebuah ujian essai. Seperti yang dikatakannya, ternyata pulpen ini memang benar-benar dapat membuat semua jawaban ujianku menjadi benar dan membuatku selalu mendapat nilai sempurna. Dan semenjak aku memiliki pulpen itu. Ayahku menjadi sedikit lebih perhatian padaku.

Awalnya aku sangat senang karena pulpen ini sangat berguna bagiku. Tapi itu tidak bertahan lama. Aku sangat terkejut ketika membaca keterangan tentang pulpen ini yang juga diberikan oleh pria misterius itu bersama dengan pulpen ini, terutama bagaimana cara mengisi ulang tinta pulpen ini. Tapi, entah kenapa pulpen ini menguasai dan mengendalikan diriku. Sempat terjadi konflik batin yang sangat hebat dalam diriku, sampai aku merasa seperti akan menjadi gila karena hal itu. Tapi kendali pulpen ini begitu kuat apalagi ketika aku teringat dengan sikap Ayahku yang begitu tidak adil bagiku sebelumnya.

Pria misterius itu berkata bahwa pulpen itu akan membuat hidupku jauh lebih baik. Tapi, Benda itu justru membuat hidupku semakin hancur dan membuatku menjadi seorang psikopat. Hampir setiap bulan aku mulai membunuh satu-persatu korban untuk mengisi kembali tinta pulpen itu dan menggunakannya untuk ujian, agar aku selalu mendapat nilai yang bagus dalam setiap ujian tersebut. Lama-kelamaan aku semakin terbiasa membunuh dan menjadi seorang psikopat yang kejam.

Aku merahasiakan tentang pulpen itu dari siapa saja dan menyembunyikannya di bawah ranjangku. Tapi, suatu hari seorang gadis yang sebaya denganku mendatangiku. Ia ternyata tahu bahwa aku memiliki dan menggunakan pulpen tinta darah. Orang itu adalah Maya. Ya, ternyata aku sudah mengenal Maya sebelum aku kehilangan ingatanku. Ia mengaku sebagai seorang malaikat pelindung—yang ditugaskan untuk melindungiku dari pulpen itu—dari kahyangan. Ia sedang dihukum karena suatu kesalahan yang telah ia perbuat karena berkeinginan menjadi manusia dan telah menyamar menjadi manusia di muka bumi. Karena melihat keinginannya yang begitu kuat untuk menjadi manusia, sang Dewa pengusa kahyangan memberinya satu kesempatan untuk menjadi manusia tapi dengan satu tugas yaitu ia harus menghancurkan pulpen tinta darah—yang ternyata bukan hanya satu di dunia ini—yang disebarkan oleh para iblis dari neraka, dan ia juga harus menyelamatkan nyawa pengguna pulpen itu, tapi jika ia gagal maka ia akan dilenyapkan dari alam semesta. Aku percaya apa yang dikatakannya—bahwa ia adalah seoarang malaikat, karena tidak ada yang bisa melihatnya selain aku—karena ia adalah malaikat pelindungku.

Ia berusaha menyelamatkanku dan melepaskanku dari pengaruh pulpen tinta darah. Dan akupun sebenarnya juga ingin terlepas dari pengaruh jahat pulpen itu. Tapi, setiap aku mengingat sikap buruk ayahku yang tidak adil. Tiba-tiba saja aku berubah menjadi orang lain, seorang psikopat.

Suatu hari, satu bulan sebelum ujian nasional SMP dilaksanakan. Aku membaca korban selanjutnya yang akan aku bunuh untuk mengisi kembali tinta pulpen itu. Dan ternyata orang yang harus kubunuh itu adalah diriku sendiri. Aku sangat heran, tapi lagi-lagi pengaruh pulpen itu lebih kuat daripada pikiranku. Terpengaruh oleh kekutan jahat dari pulpen itu, tanganku bergerak sendiri, seluruh tubuh dan saraf-sarafku seolah-olah tidak patuh lagi pada perintah otakku. Aku mulai menggenggam erat pulpen itu, memejamkan mata, dan mengingat nama lengkapku sendiri dan muncullah aku di tempat diriku berada. Ternyata pulpen ini membawaku kepada diriku sendiri pada saat aku sudah akan berusia 16 tahun. Pulpen ini memaksaku untuk membunuh diriku sendiri dimasa depan, karena setiap pengguna pulpen ini harus mati pada usia 16 tahun, dan pulpen ini ingin membunuhku lebih cepat sebelum waktu ajalku tiba, yaitu sehari sebelum ulang tahunku yang ke 16 tahun. Seperti yang dikatakan dalam keterangan, bahwa korban yang akan dibunuh adalah orang-orang yang sudah dekat dengan ajalnya.

Aksiku untuk membunuh diriku sendiri di masa depan terus berlanjut tanpa bisa kukendalikan, karena aku sedang dalam kendali pulpen itu. Aku melihat diriku sendiri menonton TV diruang tengah. Aku melangkah menuju saklar lampu dan menekannya untuk mematikan lampu. Lalu diriku yang di masa depan tiba-tiba berseru dan ia mengetahui keberadaanku. Aku berlari menuju kebelakangnya dan kemudian mencekiknya dengan tali yang kubawa, tapi ia berhasil meloloskan diri dan naik kelantai dua lalu masuk ke dalam kamar. Aku langsung mengejarnya, tapi ia berhasil mengunci pintu kamarnya. Tapi, di bawah kendali pulpen itu aku menjadi orang yang sangat kuat. Aku berhasil mendobrak pintunya, tapi ternyata diriku yang di masa depan sudah tidak ada di dalam kamar. Aku pun berteriak sejadi-jadinya seperti orang kesetanan. Aku terus berteriak “dimana kau!”, sampai akhirnya diriku yang dir masa depan itu menunjukkan dirinya. Tanpa ragu-ragu aku menerjangnya dan mendorongnya hingga ke dekat tangga lalu kutancapkan pulpen itu kejantungnya dan kemudian mendorongnya. Tapi, tiba-tiba aku tersadar kembali dari pengaruh pulpen itu. Tapi sudah terlamabat, ketika aku berusaha menarik tangannya untuk mencegah ia jatuh. Aku justru ikut terjatuh di tangga itu, karena diriku yang dari masa depan itu menarik baju yang kukenakan. Aku pun terjatuh di tangga dan kepalaku membentur lantai dengan kerasnya. Aku merenggangkan peganganku pada pulpen itu dan akupun kembali tempat asalku—di kamar—seiring dengan kesadaranku yang menghilang.



Dan kejadian itulah yang membuat aku hilang ingatan hingga kejadian malam itu—satu hari sebelum ulang tahunku yang ke 16. Tapi sekarang, setelah aku sadar dari koma. Aku bertanya-tanya kenapa aku bisa terbebas dari kutukan pengguna pulpen itu (mati pada usia 16 tahun). Dan aku juga tidak tahu keberadaan pulpen itu sekarang. Tapi, yang membuatku lebih bertanya-tanya dimanakah Maya berada. Karena setelah kesehatan dan semua ingatanku pulih dan kembali masuk sekolah. Tidak ada seorangpun yang tahu ataupun ingat tentang Maya termasuk adikku Abi. Seolah-olah Maya adalah orang yang tidak pernah ada. Berhari-hari tidak bertemu dengan Maya, aku tidak menyangka bisa serindu ini padanya.

Suatu hari, sekali lagi pulpenku jatuh kebawah ranjang, ketika aku sedang mengerjakan tugas rumahku. Dan aku memasukkan tanganku ke kolong ranjang dan meraba-raba lantai. Aku pun menyentuh secarik kertas yang ternyata sebuah surat. Dan yang lebih membuatku terkejut adalah surat itu dari Maya. Lalu kubaca isinya.

Dari surat yang katanya diletakkan olehnya di bawah ranjangku pada saat aku dibawa kerumah sakit itu, aku tahu bahwa Maya telah lenyap. Dan sebanarnya ia tidak berhasil menyelamatkanku dari pulpen itu. Sebenarnya malam itu aku sudah terbunuh. Tapi kemudian Maya bermohon kepada sang Dewa. Ia meminta agar aku dihidupkan kembali dengan memberikan kehidupan yang dimilikinya (Maya) kepadaku. Jadi Maya tidak akan bisa lagi untuk menjadi manusia seperti yang diinginkannya.

Aku sangat sedih mengetahui kenyataan itu. Dan di bagian akhir surat Maya tertulis sesuatu yang sangat membuatku terkejut,

“Oh, Iya kau pasti juga heran. Kenapa alismu bisa tumbuh kembali begitu cepat, selain meminta agar kau dihidupkan kembali aku juga telah meminta kepada Dewa agar alismu dikembalikan ke keadaan semula. Hahaha!!.

“Sekarang pulpen itu masih belum dihancurkan. Karena ternyata Lia berhasil melewati ajalnya yang pertama (karena serangan jantung). Ia bisa hidup lebih lama hingga 16 tahun, karena telah menggunakan pulpen itu. Berdasarkan hasil keputusan para malaikat dan Dewa. Lia berhak mendapatkan kesempatan untuk hidup lebih lama, kerena telah menggunakan pulpen itu.

Tapi sepertinya kau masih belum bisa menjalani hidup normalmu seperti orang lain, Karena ada satu hal lagi yang harus kau lakukan. Yaitu menemukan cara untuk menyelamatkan nyawa adikmu Abi. Karena, meskipun tidak disengaja. Abi juga telah menggunakan PULPEN TINTA DARAH!!!”.


Setahun kemudian, aku naik ke kelas 3 SMA. Ketika masuk ke kelas baruku. Aku bertemu dengan teman-teman baru, dan di antara teman-teman baruku itu ada seorang murid pindahan yang wajahnya sangat mirip dengan Maya.

THE END


"Blood Ink Pen" (Part 1)

"Blood Ink Pen" (Part 2)
"Blood Ink Pen" (Part 3)
"Blood Ink Pen" (Part 4)

0 komentar:

Posting Komentar