“Coba kulihat!” Kata Maya, sambil mengambil buku itu.
“Itu berarti kematianku di usia 16, disebabkan oleh pengguna pulpen yang sebelumnya?” Tanyaku.
“Bukan!!. Aduh bagaiman ya menjelaskannya…?. Kau mati sebelum waktu kematianmu yang seharusnya. Karena kau adalah salah satu korban yang diambil darahnya!.” Kata Maya, yang akhirnya benar-benar panik.
“Maksudnya?” Aku kebingungan.
“Kau baca ‘kan keterangan itu. “Mereka adalah orang-orang yang memang sudah mendekati ajalnya. Jadi kita hanya mempercepat sedikit waktu kematiannya.” Kau sudah mendekati ajalmu pada usia 16 karena telah menggunakan pulpen ini. Tapi ternyata kau juga adalah korban yang diminta pulpen ini untuk dibunuh oleh pengguna pulpen yang sebelumnya.” Kata Maya.
Akupun perlahan-lahan mengerti maksud Maya.
“Jadi, aku akan mati lebih cepat satu hari karena pengguna pulpen ini akan datang padaku satu hari sebelum ulang tahunku yang ke 16. Tapi apakah itu tidak bisa digagalkan apabila pulpen ini berhasil kita musnahkan?.” Tanyaku kepada Maya.
“Tidak! Meskipun pulpen itu di musnahkan. Karena orang yang datang kepadamu adalah orang dari masa lampau dan masih mempunya pulpen itu. Dia bisa datang membunuhmu dimasa depan dengan bantuan pulpen itu.” Jawab Maya.
“Jadi, tidak ada cara untuk mencegah hal itu.” Kataku yang benar-benar merasa ketakutan.
“Tunggu sebentar. Aku ingat kakekku pernah bilang untuk menggagalkan pembunuhan terhadap korban yang telah ditentukan oleh pulpen itu adalah dengan menghapus nama korban tersebut dengan menggunakan darah campuran pengguna pulpen dengan darah korban selanjutnya. Jadi, hal yang harus kita lakukan sekarang adalah secepatnya menghabiskan tinta pulpen itu. Agar kita tahu siapa korban selanjutnya.” Maya menjelaskan dengan panjang lebar.
Selama beberapa hari, di rumah maupun di sekolah. Aku menghabiskan banyak waktu untuk mencoret-coret kertas agar tinta pulpen itu segera habis. Kadang Maya membantuku melakukannya.
Ketika aku sedang sibuk mencoret-coret kertas dengan pulpen itu pada jam istirahat belajar di Sekolah. Maya menghampiriku dan berkata,
“Sebaiknya kau menempelkan namamu dipulpen ini. Karena setiap hari kau membawanya ke sekolah, bisa saja ‘kan pulpen ini hilang di sekolah?.” Kata Maya menyarankan.
“Hmmm…Betul juga katamu. Bisa gawat kalau pulpen ini sampai hilang. Baiklah, aku juga akan menambahkan gantungan agar bisa dikalungi dan tidak mudah hilang.” Kataku.
Selang beberapa hari, aku terus menggunakan pulpen itu hanya untuk mengerjakan tugas-tugas rumahku, mencoret-coret kertas dengan pulpen itu. Aku terus berusaha menghabiskan isi tinta pulpen itu. Bahkan aku pernah mencoba untuk membuka isi pulpen itu. Tapi, tidak bisa sama-sekali. Sampai akhirnya, lima hari sebelum ulang tahunku yang ke 16 atau empat hari sebelum pengguna pulpen sebelumnya mendatangiku, saat aku sedang mencoret-coret kertas dengan pulpen itu di sekolah, akhirnya tintanya benar-benar habis.
“Akhirnya!!!.” Aku berseru kegirangan, karena tinta pulpen maut itu akhirnya berhasil kuhabiskan. Semua siswa-siswi di kelasku melihatku dengan pandangan aneh.
“hehehe… bukan apa-apa?. Maaf ya teman-teman.” Aku berusaha membuat mereka tidak curiga.
“Maya, tintanya habis….” Aku berbisik kepada Maya.
“Benarkah?. Kalau begitu ketika pulang nanti selipkan pulpen ini ke buku itu.” Kata Maya.
“Baiklah!. Tapi, kenapa kau bisa tahu semuanya?.” Tanyaku pada Maya.
“Hee? ‘kan sudah kubilang kakekku pernah menceritakanku tentang pulpen ini.” Kata Maya.
“Memangnya kakekmu itu orang yang seperti apa, darimana dia tahu tentang pulpen ini?.” Aku bertanya lagi kepada Maya.
“Itu… Kakekku adalah orang yang seperti aku. Eh bukan!, sebaliknya aku yang seperti dia. Kau tahu kenapa aku sangat suka hal-hal yang berbau mistis dan kemampuanku melihat mahluk halus?. Itu semua menurun darinya. Sudah jangan banyak bertanya lagi. Lebih baik kau pikirkan bagaimana caranya kita mendapatkan darah korban yang selanjutnya itu.” Kata Maya.
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba. Aku bergegas lari menuju rumah. Karena begitu semangatnya, aku tidak menunggu Maya dan Abi untuk pulang bersama-sama seperti biasanya. Ketika sampai di depan pintu rumah, aku memeriksa saku bajuku, saku celana, kemudian tasku tapi pulpen itu tidak ada. Ternyata pulpen itu terjatuh di tengah jalan—bukan tertinggal di sekolah, karena aku mengalungkan pulpen itu dileherku, dan sekarang hanya tinggal gantungannnya. Aku benar-benar merasa sangat bodoh, bagaimana bisa aku menghilangkan pulpen yang menentukan kematianku itu. Tanpa berpikir panjang lagi akupun kembali menyusuri jalan yang kulewati menuju rumah dengan rasa panik bukan main.
Lalu di tengah perjalanan aku melihat seorang gadis kecil kurus sedang bermain sendirian di depan rumahnya yang sangat sederhana. Dan gadis kecil itu memegang pulpen tinta darah yang kujatuhkan. Akupun melangkah mendekati gadis kecil itu. Tapi, tiba-tiba seorang pria keluar dari dalam rumahnya. Dan, ternyata pria itu adalah pak Hadi.
“Lia, ayo masuk nak, jangan terlalu lama bermain di luar rumah.” Pak Hadi memanggil anak itu.
“Ia Ayah.” Kata anak gadis kecil yang ternyata adalah putri pak Hadi yang bernama Lia.
“Hah! Ini rumah Pak Hadi?. Kok aku tidak tahu ya? Padahal, hampir tiap hari aku melewati rumah ini setiap pulang sekolah.” Gumamku dalam hati.
Pak Hadi melihatku di depan pagarnya.
“Eh, Danu ada perlu apa datang kemari?!.” Tiba-tiba pak Hadi bertanya kepadaku.
“Anu pak, aku…aku… mau….” Aku menjawab dengan kebingungan.
“Ayo..ayo masuk saja dulu. Kelihatannya kau sangat kelelahan?” Kata Pak Hadi, dan kemudian dia juga menyuruh anaknya untuk masuk.
Aku pun masuk ke ruang tamu pak Hadi yang sangat sederhana. Hanya ada tikar untuk duduk dan sebuah meja pendek di tengahnya.
‘Oh, iya bapak masuk dulu ya nak, mau buatkan minuman, jangan sungkan-sungkan anggap saja rumah sendiri ya.” Kata Pak Hadi.
Sementara itu aku duduk lesehan di ruang tamu pak Hadi yang tidak berkursi. Dan gadis kecil anak Pak Hadi duduk seberang meja.
“Kakak, muridnya ayah ya?.” Lia bertanya kepadaku.
“Ia, dik.” Jawabku sambil tersenyum.
Akupun mulai berbasa-basi. Berusaha mengetahui darimana gadis kecil itu mendapatkan pulpenku.
“Adik manis, pulpennya bagus sekali. Kalau kakak boleh tahu beli di mana?” Tanyaku.
“Oh, ini kupinjam dari ayah. Aku memintanya, tapi ayah bilang ini punya muridnya. Jadi aku pinjam saja sebentar untukku belajar menulis, hehehe….” Anak itu menjawab.
“Dik, sebenarnya itu pulpen kakak, kamu lihat kan nama yang tertempel dipulpen itu, itu nama kakak, Danu. Boleh tidak kakak minta kembali, sebagai gantinya kakak akan memberikanmu gantinya.” Aku langsung saja berterus terang.
Akupun mencari benda apa yang bisa ditukarkan dengan pulpen itu di dalam tasku. Untung saja tadi siang aku sempat membeli sebatang cokelat. Ketika aku sedang merogoh tasku, mencari cokelat itu. Tiba-tiba ia berkata.
“Benarkah?. Karena kakak pemiliknya kalau begitu ini ambillah. Kata ayah kita harus mengembalikan semua barang yang telah kita pinjam atau temukan kepada pemiliknya.” Ia menyerahkan pulpen itu begitu saja tanpa dibujuk dengan coklat yang ingin kutawarkan. Tiba-tiba saja aku merasa ingin punya adik perempuan yang manis dan baik seperti anak Pak Hadi itu.
Pak Hadi pun keluar membawa segelas minuman sambil bertanya kepada anaknya, Lia.
“Lia, apa kau lihat pulpen yang tadi. Ayah mau kembalikan ke kak Danu?.” Pak Hadi bertanya kepada Lia.
“Ini, sudah kukembalikan yah.” Jawab Lia.
“Oh iya, itu pulpen kamu ‘kan Danu?. Tadi bapak menemukannya di gerbang sekolah. Untung saja kamu menulis nama dan kelasmu di pulpen itu, kelihatannya pulpen itu sangat berharaga makanya kamu sampai menulis nama dan kelasmu disitu iya ‘kan?.” Kata Pak Hadi.
“Ii…iya pak. Pulpen ini memang sangat berharaga buatku.” Jawabku.
Untung saja Maya menyarankan aku untuk menulis nama lengkap dan juga kelasku dipulpen itu. Agar kalau hilang bisa lebih mudah ditemukan.
“Oh, iya kamu ke sini ada perlu apa kalau bapak boleh tahu. Apa mencari pulpenmu itu?” Pak Hadi bertanya.
“Itu…” kataku bingung menjelaskan kenapa aku bisa sampai dirumah Pak Hadi.
“Tok..tok..tok..!!” Tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu rumah Pak Hadi.
“Selamat siang?. Apakah ada orang di rumah?.” Salam seoarang gadis dari luar rumah. Sepertinya aku mengenal suara orang itu.
“Itu kak Maya!. biar aku yang buka pintunya!.” Seru Lia kegirangan.
Lalu Maya masuk ke dalam ruang tamu.
“Danu?. Kok kamu di sini ada perlu apa dengan Pak Hadi?.” Tanya Maya.
“Aku kesini mau… mau tanya tentang PR yang baru diberikan tadi siang!, kau sendiri kenapa ke sini?.” Aku menjawab dan balik bertanya.
“Oh, kebetulan aku juga sering ke sini beberapa hari terakhir. Aku juga biasa meminta Pak Hadi untuk mengajarkan tentang PR. Kalau begitu sekalian saja kita belajar bersama!” Jawab Maya.
“Oh, begitu. Baiklah ayo kita belajar bersama!.” Kataku.
Tiba-tiba Lia berseru kepada Maya.
“Kak Maya, nanti kita main lagi ya!.” Seru Lia.
“Ia, pasti itu pasti!.” Jawab Maya yang kelihatannya sudah sangat akrab dengan Lia.
Beberapa jam kemudian. Tidak terasa hari sudah senja. Akhirnya, kami berpamitan pulang kepada pak Hadi. Dan di perjalan kami berbincang,
“Maya, kok aku tidak tahu kalau itu rumah Pak Hadi, padahal kita tiap hari lewat di situ?.” Tanyaku.
“Oh, memang. Pak Hadi baru beberapa hari yang lalu pindah kerumah itu.” Jawabnya.
“Eh iya, kok kamu bisa akrab sekali ya dengan Lia?. Kau kelihatan seperti kakaknya saja” aku bertanya lagi.
“Kau lupa ya, kau sendiri yang bilang aku murid kesayangannya Pak Hadi. Hmmm… Tapi, sebenarnya aku kasihan dengan Lia.” Kata Maya.
“Kenapa?.” Tanyaku.
“Kau tidak tahu ya. Ibunya Lia sudah meninggal karena serangan jantung. Dan ternyata Lia juga mengidap penyakit jantung. Aku kasihan pada Pak Hadi yang hidup sebagai orang tua tunggal untuk Lia. Dan ia harus menanggung biaya pengobatan dan terapi jantung yang sangat besar untuk anak satu-satunya Lia. Makanya ia menjual rumahnya dan pindah ke rumah yang lebih sempit. Itu semua demi kesembuhan Lia. Dan kau tahu, katanya umur Lia mungkin tidak akan bertahan lama lagi.” Kata Maya.
“Benarkah, kok aku baru tahu.” Kataku.
“Makanya jangan hanya mengurus dirimu sendiri, tanpa mempedulikan orang lain.” Kata Maya.
“Ia ibu, terimakasih nasihatnya. Tapi, itu bukan aku yang tidak peduli. Hanya kamu saja yang selalu ingin tahu saja urusan orang.” Celetukku kepada Maya.
“Enak saja kamu!.” Kata Maya dengan wajah agak cemberut.
“Sebenarnya… Tadi itu pulpen tinta darah ini sempat hilang. Aku mencarinya sampai di depan rumah Pak Hadi. Aku melihat Lia sedang bermain-main sendiri di halaman rumahnya dan memegang pulpen ini. Ternyata pulpen ini jatuh di gerbang sekolah dan Pak Hadi yang menemukannya.” Aku memberitahu kepada Maya.
“Apa?! Bisa-bisanya kau menghilangkan pulpen itu! Pantas saja aku merasa kau berbohong tadi.” Kata Maya.
“Tapi ‘kan yang penting pulpen ini bisa kutemkan lagi. Ngomong-ngomong, memangnya kamu bisa tahu orang yang sedang berbohong seperti apa?. Tapi, Tadi Lia sempat menulis dengan pulpen ini loh!. Jadi, apakah Lia akan maninggal pada usia 16 tahun, padahal ‘kan kau bilang umurnya tidak akan lama lagi. Jadi tidak selamanya pulpen ini memperpendek umur kita?.” Tanyaku.
(To Be Continued...)
"Blood Ink Pen" (Part 1)
"Blood Ink Pen" (Part 2)
"Blood Ink Pen" (Part 4)
"Blood Ink Pen" (Part 5)
Jumat, 22 Juli 2011
"Blood Ink Pen" (Part 3)
Label:
cerpen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar