Jumat, 22 Juli 2011

"Blood Ink Pen" (Part 1)

Namaku Danu, tahun ini aku baru saja naik ke kelas 2 SMA, aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan seorang adik laki-lakiku bernama Abi. Abi adalah adik kelasku di sekolah. Dia adalah murid akselerasi yang loncat kelas. Sebenarnya untuk anak seumurnya, Abi masih kelas 2 SMP.

Tidak banyak yang bisa kuceritakan tentang diriku karena aku sendiri juga tidak tahu dengan pasti siapa diriku sebenarnya. Karena, aku adalah penderita amnesia. Teman-temanku hanya tahu bahwa aku kecelakaan dan mengalami benturan di kepala. Tapi sebenarnya, setahun yang lalu di suatu malam orang tuaku menemukanku tak sadarkan diri dengan kepala berlumuran darah di dalam kamarku sendiri. Jadi, orangtuaku pikir aku mencoba bunuh diri karena selalu ditekan oleh ayahku untuk selalu berprestasi di sekolah, tapi mereka merahasiakan itu semua dari teman-teman dan guru-guruku di sekolah. Dan setelah kejadian itu ayahku merubah sikapnya dan sekarang dia tidak lagi memaksakan kehendaknya.

Suatu hari, ketika aku sedang mengejakan tugas rumah mate- matika, dengan tidak sengaja aku menjatuhkan pulpen yang kugunakan. Pulpen itu bergelinding masuk ke bawah ranjang yang letaknya tepat di samping meja belajarku. Aku mencoba mengambilnya, dan memasukkan tanganku kedalam kolong ranjang yang berdebu itu. Kuraba-raba lantai, dan tiba-tiba telapak tanganku menyentuh sebuah pulpen. Kutarik pulpen tersebut, tapi ternyata pulpen itu bukan pulpen milikku yang kujatuhkan tadi. Pulpen tersebut belum pernah kulihat sebelumnya, karena pulpen itu sangat unik, aku langsung jatuh hati pada pulpen yang unik itu, lalu kusimpan pulpen itu kedalam tas sampingku. Tetapi sebenarnya aku sangat familiar dengan pulpen tersebut. Dan ketika memegangnya aku merasa ada hal yang aneh dan ada sedikit rasa takut muncul di ingatanku. Tapi, ingatan itu tidak begitu jelas jadi aku tidak begitu mempedulikannya.

Keesokan harinya. Ada satu nomor dari pekerjaan rumah mate-matikaku yang tidak bisa kudapat jawabannya. Dan sahabat baruku yang bernama Maya selalu menawarkanku jawaban PR-nya tersebut. Ia adalah murid pindahan di kelasku. Aku dan adikku jadi akrab dengannya karena ternyata jalan ke kostannya, searah dengan rumah kami. Kami bertiga sering berjalan pulang kerumah bersama-sama.

Dia teman yang sangat baik dan pemberani. Dan satu lagi dia sangat cerdas. Aku yakin dia adalah siswi yang memiliki IQ di atas rata-rata, karena aku sendiri heran kenapa dia selalu mengetahui segala hal dan hampir mahir dalam melakukan apa saja. Ya… menurutku dia memang gadis yang sangat manis, makanya banyak teman-teman dan kakak-kakak kelas yang suka kepadanya. Aku sangat beruntung bisa dekat dengannya, tapi yang paling kusuka darinya adalah dia bukanlah orang yang sombong. Meskipun sepertinya dia sosok yang karismatik yang pernah kutemui, ternyata ia adalah orang yang sangat percaya dengan hal-hal magis. Dia pun mengaku bisa melihat mahluk halus, ya… meskipun aku sahabatnya, tapi aku tidak begitu yakin dengan kemampuannya yang satu ini.

Kemudian aku mengeluarkan buku PR mate-matikaku dan pulpen yang kutemukan di bawah ranjangku kemarin. Dan aku mulai menyalin pekerjaan Maya. Ketaka menyalin, Kulihat Maya terus memperhatikan pulpen yang kugunakan dengan wajah penasarannya.

“Darimana kamu dapat pulpen itu?” Tiba-tiba Maya bertanya.

“Oh ini, bagus ‘kan? Aku temukan di bawah tempat tidurku kemarin. Memangnya kenapa?” Aku menjawab dan balik bertanya.

“Tidak… tidak kenapa-kenapa. Eh, tapi aku seperti merasa ada yang ganjil dengan pulpenmu itu.” kata Maya.

“hmmm… mulai lagi ‘kan… memangnya ada yang ganjil bagaimana?” aku bertanya lagi.

“hehehe… tidak kok aku cuma bercanda.. sudah kerjakan saja, pak guru sudah mau masuk tuh!” seru Maya.

“makanya jangan ganggu!” aku menggerutu.

“Aku ‘kan Cuma bertanya” sanggah Maya.

“Tapi, ngomong-ngomong mana Abi? Kok dia tidak sama kamu?.” Tanya Maya.

“Oh, Katanya dia tidak enak badan, jadi dia tidak masuk hari ini.” Jawabku.

“Oh…” Kata Maya, sambil menganggukkan kepalanya.

Saat semua siswa sibuk dengan perbincangan mereka masing-masing. Tiba-tiba guru mate-matika kami–Pak Hadi—melangkah masuk ke dalam kelas. Beliau membawa setumpuk kertas soal dan meletakkannya di atas meja guru dan berkata,

“Anak-anak kita akan ulangan harian hari ini!”

Semua siswa sontak mengeluh. Karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan bahwa akan ada ulangan harian hari ini.

“Memangnya ada ulangan?” aku bertanya kepada Maya.

“Aku juga tidak tahu, bapak ‘kan minggu lalu tidak masuk. Karena anaknya mendadak masuk rumah sakit. Mungkin dia tidak sempat memberitahukan kita” Jawab Maya.

“Aduh gawat ini!, semalam aku tidak belajar, cuma kerja PR saja.” Kataku.

“Tapi pak, kita belum belajar. Karena bapak tidak memberitahukan akan ada ulangan harian hari ini.” Protes seorang murid di kelas.

“Maaf ya anak-anak, minggu kemarin bapak tidak bisa masuk. Karena anak bapak mendadak sakit dan harus dirawat di rumahsakit. Tenang saja, soal-soal ulangan kali ini mudah kok. Karena semua soalnya sudah pernah bapak berikan pada kalian sebelumnya. Ulangan harian kali ini dalam bentuk essai.” Kata pak Hadi.

“sekarang kumpul buku PR kalian, ada tugas ‘kan?.” sambungnya.

Ulangan harian pun tetap dilaksanakan. Walaupun soal-soalnya sudah dibahas, tapi tetap saja soal-soalnya sulit bagiku. Meskipun aku sering menyalin PR Maya, tapi aku tidak akan menyontek kertas ulangan Maya. Karena ulangan itu berbeda dengan PR. Meskipun ia menawarkan jawabannya. Tapi, dalam ulangan aku harus lebih suka berusaha sendiri, meskipun itulah yang membuatku sering gagal dalam ulangan harian, hehehe…!!

Waktu yang diberikan untuk ulangan pun sudah habis. Aku hampir berhasil menjawab semua soal dengan kerja kerasku sendiri, tapi aku tidak begitu yakin dengan benar tidaknya jawaban itu.

Guru kami yang satu ini (Pak Hadi). Sangat suka memeriksa ujian kami dan mengumumkan hasilnya pada hari yang sama setelah melakukan ulangan. Dan Maya selalu dipercayakan olehnya untuk membantu memeriksa ulangan-ulangan kami.

Maka hasil ujian diumumkan pada hari itu juga.

“Ckckck… hanya sebagian dari kalian yang tuntas dalam ulangan hari ini. Tapi, ada dua dari kalian yang mendapatkan nilai sempurna. Mereka adalah Maya dan Danu!” Pak Hadi mengumumkan hasil ulangan tersebut.

Semua siswa bertepuk tangan, sekedar memberikan selamat kepada kami yang mendapatkan nilai sempurna itu. Meskipun sepertinya ada di antara mereka yang tidak tulus melakukannya. Karena, tidak seperti biasanya aku mendapat nilai sempurna. Padahal ada beberapa soal yang tidak bisa kuselesaikan karena aku lupa langkah selanjutnya.

Kertas ulangan itupun dibagikan. Dan aku terkejut melihat soal-soal yang tidak kukerjakan seluruhnya sudah terisi sampai selesai. bahkan jawaban ku yang salah berubah menjadi benar. Akupun curiga pada Maya yang merubahnya untukku. Tapi, sebelumnya dia tidak pernah melakukan hal seperti ini.

Ketika pulang sekolah. Aku dan Maya jalan kaki pulang bersama-sama seperti biasanya.

“Tadi… kamu ya, yang ganti dan lengkapi jawaban soal ulanganku ‘kan?” Tanyaku kepada Maya.

“Ganti?, Lengkapi?, maksudmu?” bukannya menjawab pertanyaanku, Maya justru bertanya balik dengan kening mengerut.

“Alah, tidak usah pura-pura!. Kamu ‘kan yang bikin ulangan mate-matikaku dapat seratus?. Kamu ‘kan yang bantu pak Hadi untuk memeriksa ulangan-ulangan tadi. Siapa lagi yang mengganti dan melengkapi jawabanku selain kamu. Tidak mungkin pak Hadi ‘kan?.” Kataku berusaha membuat Maya mengaku.

“Sumpah, aku tidak mengerti maksudmu. Memang aku yang memeriksa kertas ulanganmu tadi. Tapi, jawabanmu memang sudah lengkap kok, dan semuanya benar. Aku sama sekali tidak merubah atau melengkapi jawabanmu!” Jawab Maya, dengan wajah yakin karena ia memang benar.

“Tapi, aku yakin sekali, kalau tadi itu ada beberapa soal yang tidak kuselesaikan karena aku tidak tahu langkah selanjutnya.” Kataku.

“Masa? Tapi benar kok. Aku sama sekali tidak melakukan yang kamu maksud itu.” Jawab Maya dengan yakin, sekaligus bingung karena dia juga heran kenapa ulanganku bisa berubah jawabannya.

Tiba-tiba ditengah perjalanan. Di sebuah lorong ada sekelompok preman—empat orang—yang biasa memalak orang-orang yang lewat, mencegat kami.

“Eh..eh..eh, mau kemana? Cie yang jalan beduaan. Masih kecil belum boleh pacaran...” Kata seorang preman berwajah sangar dan tattoo yang memenuhi kedua tangannya.

“Alah, gak usah basa-basi lo!. Mana duit kalian. Kasih kekita…!!” kata seorang temannya, sambil mengeluarkan sebuah pisau kecil, dan langsung menodongkannya ke arah kami.

“Jangan macam-macam ya… kalaian akan menyesal nanti!” Seru Maya dengan sikap kuda-kudanya bersiap akan memukul para preman itu.

Ya… seperti yang kubilang tadi Maya adalah gadis yang hampir mahir dalam melakukan apa saja, ia pernah mengikuti ekskul Karate disekolahnya yang dulu. Memang, ia adalah gadis yang berani, tapi aku tidak menyangka tingkat keberaniannya bisa setinggi itu.

“May, jangan nekat donk!. Mending kita lari aja. Ayo…ayo…” bisikku sambil menarik tangan Maya.

Maya tidak bergeming dari posisinya. Terpaksa kutarik tanggannya dan lari secepat yang kubisa sambil terus memegang tangannya.

“Ehh… mau kabur kemana kalian!!. Ayo kejar mereka.” Seru seorang preman yang sepertinya pemimpin dari mereka.

‘Iiiihh…!! Kenapa kita lari. Aku bisa kok memberi pelajaran kepada mereka semua! Berhenti…berhenti….” Kata Maya.

Tiba-tiba disebuah belokan lorong tersebut. Pulpen yang kutemukan kemarin yang kebetulan kuletakkan di saku bajuku terjatuh. Aku berhenti dan segera mengambilnya kembali. Sementara itu, para preman tadi semakin mendekat. Aku pun segera bersembunyi di samping tempat pembuangan sampah.

“Hey Maya, ayo kesini!” kupanggil Maya, yang justru dengan semangatnya menanti para berandal jalanan itu datang.

“Ayo.. Kemari kalau berani!!!” Pekik Maya.

Melihat dia yang begitu berani, membuatku jadi malu sendiri. Akupun mengepal tanganku dan kugengam erat pulpen unikku itu dan memberanikan diri keluar dari persembunyian dan ikut berdiri disampingnya.

Para preman itu pun tiba di hadapan kami.

“Lo berani juga ya…?!!. Tapi, sayang sekarang lo cuma sendiri. Mana temen lo yang pengecut itu?!!” Preman itu berkata sambil tersenyum picik kepada Maya.

“Cuma sendiri? Kenapa dia bilang Maya cuma sendiri. Apa dia tidak melihatku..??” Aku bertanya-tanya dalam hati.

(To Be Continued...)


"Blood Ink Pen" (Part 2)
"Blood Ink Pen" (Part 3)
"Blood Ink Pen" (Part 4)
"Blood Ink Pen" (Part 5)



0 komentar:

Posting Komentar