Jumat, 22 Juli 2011

"Blood Ink Pen" (Part 4)

“Hmmm… mungkin kau benar juga.” Kata Maya.

“Tapi bagaimana kalau Pak Hadi juga menggunakan Pulpen ini?.” Tanyaku.

“Kau ‘kan sudah membaca keterangan mengenai pulpen ini. Kalau pulpen digunakan oleh orang dengan usia di atas 16 tahun tidak akan memberikan efek apa-apa.” Kata Maya.

“Oh, iya aku lupa!. Baiklah, ayo segera pulang. Aku harus menyelipkan pulpen ini kedalam buku itu (buku yang tempat biasa pulpen diselipkan) secepatnya.” Kataku.

“Kita masih punya waktu 4 hari sebelum pengguna pulpen sebelumnya menandatangimu.” Maya mengingatkanku.

Sesampainya di rumah aku langsung ke kamarku dan segera menyelipkan pulpen itu kedalam buku di mana pulpen itu biasa diselipkan. Dan keesokan paginya aku terbangun. Dan akupun segera membuka buku itu dan benar saja nama baru muncul di dalam buku itu. Namanya adalah, “Amalia Dewi”. Kebetulan hari ini adalah hari libur. Jadi aku segera ke kostan Maya untuk menanyakan apa yang sebaiknya aku lakuan selanjutnya.”

Sesampainya di sana,

“Maya, lihat nama korban selanjutnya sudah muncul. Lalu apa yang harus kulakukan”. Tanyaku pada Maya.

“Genggam erat Pulpen ini dan pejamkan mata sambil memikirkan nama korban dan anda akan terbawa ketempat korban yang dimaksud. dengan menggengam erat pulpen ini maka kau akan terlepas dari dimensi ruang dan waktu dan pulpen ini akan membawamu ke tempat korban itu berada, seperti yang dikatakan dalam keterangan.” Kata Maya.

“Baiklah aku akan melakukannya sekarang.” Akupun memejamkan mata dan menggenggam pulpen itu dengan erat sambil memikirkan nama “Amalia Dewi”. Saat aku membuka mataku sambil tetap memegang pulpen itu agar aku tetap tidak terlihat. Aku sangat terkejut, karena ternyata aku sedang berada dirumah Pak Hadi. Dan setelah pak Hadi memanggil anaknya yang bernama Lia. Akhirnya aku sadar bahwa Amalia Dewi adalah Lia anak Pak Hadi. Akupun merenggangkan genggamanku pada pulpen itu dan tiba-tiba aku kembali ke kostan Maya.

“Maya, ternyata… Amalia Dewi adalah Lia anak Pak Hadi!”. Aku memberi tahu Maya.

“Benarkah?. Pantas saja aku merasa familiar dengan nama itu. Aku baru ingat itu adalah nama lengkap Lia, Sepertinya pulpen ini sengaja memilih Lia sebagai korban, karena dia tahu kita tidak akan tega mengambil darah Lia”. Kata Maya.

“Para korban adalah orang-orang yang memang telah dekat dengan ajalnya. Itu berarti umur Lia memang sudah tidak lama lagi. Karena tadi, aku melihatnya masih berusia anak-anak.” Kataku.

“Berarti umur pengguna pulpen tidak akan bertambah hingga umur 16 tahun.” Kata Maya.

“Sepertinya itu benar. Tapi sekarang, bagaimana kita mengambil darah anak Pak Hadi. Lagipula, aku tidak tega melakukannya.” Kataku.

“Cara teraman adalah dengan menggunakan bantuan pulpen itu. Karena tidak mungkin kita meminta darahnya begitu saja.” Kata Maya.

“Tapi, apakah kita harus melukainya?. Tanyaku.

“Tidak ada cara lain. Sekarang terserah kau saja, aku juga tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Semua keputusan ada ditanganmu sendiri Danu!” Seru Maya yang tidak tahu harus memberikan saran apa lagi yang sebaiknya aku lakukan.

Setelah berpikir berjam-jam. Jika aku tidak segera mengambil darah Lia untuk dicampurkan dengan darahku agar pulpen tinta darah bisa dihancurkan, maka aku akan mati. Tapi, aku juga tidak tega melukai gadis kecil yang umurnya sudah tidak lama lagi hanya untuk kepentinganku sendiri. Tapi, akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri mengambil darah Lia, Anak Pak Hadi. Apapun resikonya.

Lalu aku menggenggam erat pulpen itu sambil memejamkan mata dan mengingat nama lengkap Lia, dan sampailah aku di rumah Lia dalam sekejap. Aku melihat anak yang masih polos itu bermain dan berlari-larian dengan ayahnya di halaman rumah mereka. Dia begitu gembira begitu juga dengan Pak Hadi, Ayahnya.

“Apa yang aku pikirkan?!. Kenapa aku bisa sejahat dan seegois ini?. Pulpen ini membuatku menjadi seseorang yang jahat!” Tanpa sadar, aku meneteskan air mata penyesalan. Karena telah berniat melukai seorang gadis kecil yang tidak lama lagi akan menutup usianya itu.

Kurenggangkan tanganku dan akupun kembali ke tempat semula. Ke kostan Maya.

“Danu, apa yang terjadi. Kenapa kau menangis?” Tanya Maya.

“Aku… aku…hssssk!” Sambil menangis, aku sangat menyesali niat jahatku itu.

Aku memutuskan untuk merelakan diriku mati daripada menjadi orang yang egois yang begitu tega merusak kebahagian seorang ayah dan anaknya yang sebenarnya sudah tidak lama lagi.



Semenjak hari itu aku tidak penah masuk sekolah. Tapi, orang tuaku tidak tahu akan keadaanku sekarang, karena seminggu yang lalu mereka sedang keluar kota, mengunjungi sanak saudara kami di sana.

Sore hari dirumahku—dua hari sebelum pengguna pulpen sebelumnya mendatangiku.

“Apa kau yakin dengan keputusanmu.” Tanya Maya kepadaku.

“Ya, aku yakin”. Jawabku.

“Kalau begitu. Kau harus melakukan satu hal.” Kata Maya.

“Apa lagi?”. Tanyaku pesimis.

“Jangan begitu… mungkin kau bisa terbebas dari pengguna pulpen yang sebelumnya. Dia tidak akan bisa kau lihat ketika ia mendatangimu. Tapi, kau bisa melihatnya kalau kau mau melakukan ini”. Kata Maya meyakinkanku.

“Melakukan apa?”. Tanyaku.

“Untuk bisa melihat mahluk yang kasat mata, yang harus kau lakukan adalah…adalah… mencukur alismu sampai botak”. Kata Maya ragu-ragu.

“Hehe… di saat seperti ini kau masih bisa juga bercanda.” Kataku kepada Maya sambil tersenyum sejenak.

“Tidak, aku serius aku tidak bercanda!”. Kata Maya meyakinkan.

“Sudahlah aku tidak akan melakukan hal bodoh itu. Mungkin sudah takdirku untuk mati dua hari lagi”. Kataku pada Maya.

Aku berdiri dari tempat duduk dan melangkah masuk ke dalam rumah.

“Hey tunggu, ini pisau cukur. Kau bisa menggunakannya, kalau kau berubah pikiran”. Kata Maya sambil meletakkannya di tanganku. Dan akupum masuk kedalam rumah dan menutup pintu, meninggalkan Maya di teras rumahku.

Hari yang kami tunggu-tunggupun tiba, hari yang sangat kutunggu karena ingin segera aku lewati. Tapi sepertinya hari itu adalah hari yang tidak akan kulewati untuk hari berikutnya.

Malam hari itu, pukul 11:32 sebelum ulang tahunku esok harinya. (satu jam sebelum waktu kematianku yang tercatat dalam buku itu).

“Apakah pengguna pulpen yang sebelumnya akan datang?” Aku bertanya-tanya dan mulai merasakan ketakutan. Hari itu aku sendiri di rumah karena Abi sedang bermalam dirumah temannya.

Tiba-tiba saja. Ketika aku sedang menonton TV di ruang tengah. Terdengar suara orang melangkah beberapa meter di belakangku. Lalu tiba-tiba saklar lampu berbunyi dan lampu mati seperti ada yang menekannya.

“Itu kau ya!” Aku langsung berdiri dan langsung berseru.

“Aku sudah tahu kau akan datang, sekarang bunuhlah aku, aku sudah siap!” Teriakku.

Tiba-tiba seseorang mencekikku dengan seutas tali dari belakang. Aku tidak bisa bernafas, aku meronta-ronta dengan sekuat tenaga dan syukurlah aku bisa terlepas. Aku sadar, ternyata aku sama sekali belum siap untuk mati. Dalam keadaan sangat panik itu, tanpa pikir panjang aku berlari menuju tangga berniat mengunci diriku di dalam kamar di lantai dua agar ia tidak bisa menjangkauku. Aku pun berhasil ke kamarku dan menguncinya, gagang pintuku naik turun seakan-akan ada orang yang memaksa membuka pintu itu. Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul dipikiranku. Aku mengambil pisau cukur yang diberikan Maya yang kusimpan di laci mejaku dan mencukur habis alisku, dan satu lagi aku mengambil pulpen tinta darah milikku. Maka akupun memiliki dua poin. Sekarang aku bisa melihatnya, tapi dia tidak bisa melihatku. Tiba-tiba saja ia berhasil mendobrak pintu kamarku. Tapi, kali ini keadaan berbalik, dia yang tidak bisa melihatku karena aku juga sedang memegang pulpen ajaib itu. Dan aku benar-benar bisa melihatnya, karena telah mencukur habis alisku. Tapi, alangkah terkejutnya aku karena ternyata pengguna pulpen sebelumnya yang berniat membunuhku malam ini adalah orang yang sangat mirip denganku. Tiba-tiba aku menjadi bingung sendiri, aku sempat berpikir untuk membunuh orang itu tapi akhirnya aku benar-benar yakin bahwa orang itu adalah diriku sendiri. Itu berarti aku berniat membunuh diriku sendiri dari masa lalu.

Orang itu alias diriku dari masa lampau kemudian berteriak.

“Hei, dimana kau?!!” Ia berseru.

Jantungku benar-benar berdegup dengan kencang. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Tapi, entah kenapa aku justru tidak tahan mendengar diriku sendiri yang dari masa lampau itu berteriak-teriak mencari keberadaanku untuk membunuh dirinya sendiri yaitu aku.

“Aku di sini!”. Akupun merenggangkan peganganku pada pulpen tinta darah. Dan iapun akhirnya bisa melihatku. Tapi tanpa kuduga, tanpa ragu-ragu ia menyerangku dan mendorongku keluar kamar. Akupun berusaha bertahan tapi ia begitu kuat. Tidak kusangka ternyata ia yang adalah diriku sendiri bisa sekuat itu. Ia pun terus mendorongku hingga ke dekat tangga dia menusukkan pulpen miliknya tepat di jantungku. Aku merasa semua energiku habis diserap oleh pulpen tinta darah yang dipegangnya. Sepertinya darahku habis dihisap oleh pulpen itu. Perlahan-lahan sekujur tubuhku menjadi dingin dan kaku. Dia pun mendorongku, berniat menjatuhkanku di tangga tersebut. Tapi, dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku meraih bajunya dan menariknya ikut terjatuh bersamaku. Kamipun terguling tidak karuan di tangga itu. Dan kepala kami berdua terbentur keras di lantai. Akupun merasa sangat lemah dan perlahan-lahan penglihatanku memburam dan akhirnya aku tidak sadarkan diri.

(To Be Continued...)


"Blood Ink Pen" (Part 1)

"Blood Ink Pen" (Part 2)
"Blood Ink Pen" (Part 3)
"Blood Ink Pen" (Part 5)


0 komentar:

Posting Komentar